LaNyalla Sebut Hak Rakyat Perbaiki Kerusakan Bangsa Dirampas, Ini Sebabnya

Ketua Dpd Ri, Aa Lanyalla Mahmud Mattalitti Di Universitas Galuh Ciamis
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti di Universitas Galuh Ciamis. (f/dpd)

CIAMIS, Mjnews.id – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai hak rakyat untuk memperbaiki kerusakan bangsa dirampas akibat adanya Amandemen Konstitusi di tahun 1999 hingga 2002.

Faktanya, menurut LaNyalla, rakyat Indonesia sebagai pemilik negara ini tidak bisa berbuat apa-apa melihat banyak ketidakadilan yang dirasakan masyarakat. Melihat kemiskinan struktural yang sulit dientaskan. Melihat utang pemerintah semakin jauh meningkat dan banyak lagi paradoksal dan penyimpangan terhadap cita-cita nasional.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT


Saat mengisi Seminar Nasional di Universitas Galuh Ciamis, Ketua DPD RI membahas hal itu.

“Mengapa rakyat tidak bisa berbuat apa-apa melihat kondisi bangsa saat ini? Karena kedaulatan rakyat sudah dipindahkan kepada kedaulatan Partai Politik dan Presiden,” ujar LaNyalla, Kamis (9/2/2022).

Menurutnya Perubahan Konstitusi yang dilakukan bangsa ini di tahun 1999 hingga 2002 silam membuat partai politik dan DPR RI serta pemerintah memiliki peran yang sangat kuat untuk menentukan arah perjalanan bangsa ini.

Padahal seharusnya demokrasi kita berkecukupan dan utuh. Semuanya terwadahi. Tanpa ada yang ditinggalkan. Karena bangsa ini super majemuk. Dengan penduduk lebih dari 500 suku dan tersebar di pulau-pulau yang terpisah oleh lautan.

Baca Juga  Temui LaNyalla, AHY Sebut Demokrat Turut Perjuangkan PT 0 Persen

“Dan para pendiri bangsa sudah merumuskan satu sistem yang paling cocok, sistem sendiri bukan ikuti liberal barat murni, atau sistem komunisme timur. Yaitu Demokrasi Pancasila. Karena hanya sistem Demokrasi Pancasila yang memiliki Lembaga Tertinggi yang mampu menampung semua elemen bangsa sebagai bagian dari Penjelmaan Rakyat,” ujar dia.
 
Konsepsi sistem bernegara tersebut tertuang di dalam Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945. Dimana terdapat wakil-wakil yang dipilih dan utusan-utusan yang diutus untuk berada di Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR.

Wakil-wakil yang dipilih, adalah peserta Pemilihan Umum. Sedangkan Wakil-wakil yang diutus, adalah mereka yang diusung dan diberi amanat oleh kelompok mereka. Sehingga terdapat dua utusan, yaitu Utusan Daerah, berisi para tokoh daerah atau Raja-Sultan Nusantara dan masyarakat adat. Sedangkan Utusan Golongan adalah mereka yang terdiri dari Organisatoris dan Profesional yang aktif di bidangnya.
 
“Karena jika MPR hanya diisi melalui Pemilu, maka Demokrasi yang berkecukupan tidak akan terpenuhi. Pemilu hanya sanggup menjamin keterwakilan secara Kuantitatif, baik distrik maupun proporsional,” paparnya.
 
Sedangkan utusan, lanjut LaNyalla, adalah mereka yang menjamin keterwakilan secara Kualitatif. Mereka memang pelaku dan pegiat aktif yang tidak melepaskan identitas dan profesinya, karena memang mereka utusan dari pegiat-pegiat di bidangnya.
 
“Sebaliknya, mereka yang masuk melalui jalur Partai Politik atau peserta Pemilu, wajib melepaskan “identitas” atau profesinya, untuk menghindari conflict of interest saat menyusun Undang-Undang,” lanjut dia.

Baca Juga  Fasilitasi Sengketa Lahan Telkom di Sulsel, DPD RI Minta Patuhi Putusan Pengadilan

Baca berita Mjnews.id lainnya di Google News

ADVERTISEMENT


ADVERTISEMENT


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *