BeritaBlitar

Bau Permainan Gelap di Balik Lelang Aset Blitar, Notaris Diduga Terlibat

33
×

Bau Permainan Gelap di Balik Lelang Aset Blitar, Notaris Diduga Terlibat

Sebarkan artikel ini
IMG 20251030 WA0117

Mjnews.id – Persidangan lanjutan kasus dugaan penyerobotan lahan dengan nomor perkara 308/Pid.B/2025/PN Blt kembali digelar di Pengadilan Negeri Blitar, Kamis 30 Oktober 2025.

Dalam sidang kali ini, tim penasihat hukum terdakwa bersama saksi ahli hukum perdata menyoroti adanya sejumlah pelanggaran prosedur yang dinilai membuat perkara ini belum layak masuk ke ranah pidana.

ADVERTISEMENT

Kuasa hukum terdakwa, Advokat Joko Siswanto, S.Kom., S.H., CTA., didampingi Rachmat Idisetyo, S.H., dan Jakfar Shodiq, S.H., menegaskan bahwa kasus yang dihadapi kliennya sejatinya merupakan sengketa keperdataan, bukan tindak pidana.

“Sejak awal kami sudah tegaskan dalam eksepsi bahwa perkara ini murni perdata. Tahapan hukumnya belum dijalankan, terutama terkait permohonan eksekusi kepada ketua pengadilan negeri atas objek yang dipersoalkan,” ujar Joko usai sidang.

Pandangan tersebut diperkuat oleh keterangan Prof. Dr. Iwan Permadi, S.H., M.Hum., pakar hukum agraria dan administrasi negara dari Universitas Brawijaya.

“Prof. Iwan menjelaskan secara jelas bahwa proses pengosongan belum dilakukan melalui pengadilan, namun perkara ini sudah diproses secara pidana. Ini terlalu tergesa-gesa,” tambah Joko.

Ia menilai, langkah penyidik dan kejaksaan yang menetapkan kliennya sebagai tersangka justru mengabaikan prosedur hukum perdata yang semestinya ditempuh terlebih dahulu.

“Seharusnya ada gugatan dan permohonan pengosongan di pengadilan negeri terlebih dahulu, baru bisa melangkah ke tahap berikutnya. Tapi ini langsung dijadikan pidana,” tegasnya.

Joko juga mengungkap adanya indikasi kerja sama tidak sehat antara pelapor dan notaris yang diduga menyelewengkan proses lelang aset.

“Kami menemukan dugaan adanya unsur korupsi dan kolusi antara pelapor dan notaris. Bukti-bukti ini akan kami tindaklanjuti secara hukum,” katanya.

Selain itu, Joko mengkritik aparat penegak hukum yang dinilai tidak menempuh jalur mediasi dalam menyelesaikan sengketa tersebut.

“Polisi dengan semboyan ‘melindungi dan melayani’ seharusnya menjadi mediator antara kreditur dan debitur, bukan langsung membawa perkara ke ranah pidana,” ucapnya.

Ia menambahkan, sistem hukum di Indonesia sebenarnya telah mengatur mekanisme mediasi bipartit dan tripartit yang dapat dilakukan oleh mediator bersertifikat.

“Hasil mediasi bisa dijadikan dasar penetapan pengadilan. Jadi, penyelesaian non-litigasi itu sah dan diakui oleh hukum,” imbuhnya.

Sementara itu, Prof. Iwan Permadi, yang juga menjabat Wakil Ketua Koperasi Brawijaya, menjelaskan bahwa setiap proses pelelangan aset agunan wajib dilakukan secara resmi, mulai dari somasi bertahap hingga pelaksanaan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

“Dalam hukum perdata dan pertanahan, tidak boleh ada pengalihan atau lelang tanpa pemberitahuan resmi dan prosedur yang sah,” tegasnya.

Ia juga mengutip Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2014, yang mewajibkan agar proses pengosongan objek lelang dilakukan melalui permohonan eksekusi ke ketua pengadilan negeri.

“Jika debitur belum mengosongkan objek lelang, kreditur wajib mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan. Itu bukan pilihan, tapi kewajiban,” terang Iwan.

Menurutnya, sebelum eksekusi dilakukan, hak kepemilikan atas objek masih melekat pada debitur, meskipun sertifikat sudah beralih nama.

“Secara yuridis, kepemilikan belum berpindah sempurna tanpa eksekusi pengosongan dari pengadilan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Iwan menegaskan bahwa pencantuman nilai fiktif dalam Akta Jual Beli (AJB) dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi karena merugikan keuangan negara.

“Jika dalam AJB tertulis nilai sembilan puluh juta padahal transaksi sebenarnya ratusan juta, itu mengurangi penerimaan pajak negara dan bisa masuk ranah Tipikor,” ujarnya.

Ia juga menutup penjelasannya dengan menegaskan bahwa sertifikat tanah bukan bukti kepemilikan absolut bila proses penerbitannya cacat hukum.

“Sertifikat hanya bukti administratif. Jika prosesnya menyalahi aturan, bisa dibatalkan,” pungkasnya. (*)

Baca berita Mjnews.id lainnya di Google News

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT