Jawa TimurParlemen

DPD RI Tak Maksimal Karena Bukan Pembentuk Undang-Undang

412
×

DPD RI Tak Maksimal Karena Bukan Pembentuk Undang-Undang

Sebarkan artikel ini
LaNyalla saat mengisi Kuliah Umum Wawasan Kebangsaan di Universitas Trunojoyo Madura
LaNyalla saat mengisi Kuliah Umum Wawasan Kebangsaan di Universitas Trunojoyo Madura, Jumat (12/5/2023). (f/dpd)

Mjnews.id – Menurut Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, saat ini lembaga yang dipimpinnya tak memiliki kewenangan maksimal dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebabnya, DPD RI bukanlah pembentuk undang-undang.

Hal ini dikatakan LaNyalla saat mengisi Kuliah Umum Wawasan Kebangsaan dengan tema “Mengembalikan Kedaulatan dan Mewujudkan Kesejahteraan Indonesia di Universitas Trunojoyo Madura, Jumat (12/5/2023).

“Sebagai wakil dari daerah, faktanya dalam konstitusi kita DPD RI bukanlah pembentuk undang-undang. Inilah sistem bernegara hasil dari era Reformasi, di mana UUD 1945 naskah asli telah mengalami amandemen sebanyak 4 kali pada tahun 1999-2002 yang mengubah lebih dari 95 persen isi pasal-pasalnya,” tuturnya lagi.

Oleh karenanya, LaNyalla menilai jika saat ini banyak yang kecewa dengan undang-undang yang ada, apakah itu UU Cipta Kerja, UU Minerba atau UU Ibu Kota Nusantara yang memberikan kemudahan kepada investor untuk menguasai tanah, begitu juga dengan Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang diprotes kalangan tenaga medis, maka DPD RI tidak bisa secara maksimal memperjuangkan.

Berangkat dari fakta tersebut, Senator asal Jawa Timur itu mengajak kepada seluruh elemen bangsa, termasuk di dalamnya Civitas Akademika Universitas Trunojoyo Madura, untuk mendorong konsensus nasional kembali kepada UUD 1945 naskah asli, untuk selanjutnya diperbaiki dan diperkuat dengan teknik addendum.

Hal ini penting, agar kita kembali kepada arah bernegara yang sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa, di mana kedaulatan benar-benar berada di tangan rakyat, melalui wakil-wakil mereka yang duduk di Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia atau MPR RI sebagai lembaga tertinggi di Indonesia.

Menurut LaNyalla, itulah konsepsi sistem bernegara kita yang tertuang di dalam
Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945, di mana terdapat wakil-wakil yang dipilih dan utusan-utusan yang diutus untuk berada di MPR.

“Wakil-wakil yang dipilih, adalah peserta Pemilihan Umum. Sedangkan wakil-wakil yang diutus adalah mereka yang diusung dan diberi amanat oleh kelompok atau organisasi mereka. Inilah sistem asli bangsa kita, yang diberi nama Demokrasi Pancasila,” jelas LaNyalla.

Jika ditinjau dari aspek ekonomi dan kesejahteraan rakyat, amandemen konstitusi era reformasi tersebut juga membuat negara tidak lagi berdaulat untuk menyusun ekonomi. Saat ini, perekonomian nasional dipaksa disusun oleh mekanisme pasar bebas. Akibatnya, negara tidak lagi berkuasa penuh atas bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, karena cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak sudah dikuasai swasta.

“Inilah yang menyebabkan Indonesia terasa semakin gagap menghadapi tantangan dunia masa depan. Karena lemahnya kekuatan ekonomi negara dalam menyiapkan ketahanan di sektor-sektor strategis,” tegas LaNyalla.

Berangkat dari dua kenyataan tersebut, yakni dari aspek sistem bernegara dan bagaimana negara ini menjalankan roda perekonomian untuk kesejahteraan rakyat, maka LaNyalla menilai tak lagi ada pilihan bagi kita. Sistem bernegara hari ini yang diakibatkan oleh kecelakaan perubahan konstitusi di era reformasi harus kita akhiri dengan cara kembali kepada rumusan asli sistem bernegara dan sistem ekonomi Pancasila.

“Kembali kepada UUD 1945 naskah asli adalah peta jalan yang sekarang sedang saya tawarkan kepada bangsa ini. Mari kita perbaiki kelemahan naskah asli konstitusi kita. Tetapi jangan kita mengubah total konstruksi bernegara yang telah dirumuskan para pendiri bangsa,” ajak LaNyalla.

(dpd)

Kami Hadir di Google News

ADVERTISEMENT