Kepemimpinan Bupati Dharmasraya, Annisa Suci Ramadhani kian menuai sorotan. Alih-alih menunjukkan sikap terbuka dan bersahabat dengan kritik, yang tampak justru gaya arogan, penuh ego sektoral, dan anti masukan. Kritik masyarakat dan media seolah dianggap ancaman, bukan koreksi.
Oleh: Sutan Sari Alam
Mjnews.id – Lebih parah lagi, untuk menutupi keangkuhan itu, patut diduga bupati menyiapkan barisan buzzer di media sosial. Akun-akun palsu bersiliweran di Facebook, menyerang wartawan, memojokkan media, dan berusaha membungkam suara kritis.
Cara ini tidak hanya memalukan, tapi juga berbahaya. Pemerintah yang sehat seharusnya menjawab kritik dengan kerja nyata, bukan dengan pasukan bayangan yang menyebar fitnah dan gaduh.
Di balik kegaduhan itu, tampak jelas ketidakmampuan Annisa dalam mengelola manajemen pemerintahan. Seorang bupati idealnya diukur dari program nyata di seratus hari pertamanya. Itulah barometer kecerdasan seorang pemimpin: bagaimana ia merancang langkah cepat, memberi arah pembangunan, dan menyalakan harapan rakyat.
Namun, alih-alih membangun program, Annisa justru lebih sibuk membangun tameng diri dari kritik.
Karena merasa hebat, timbul lah rasa sombong. Kesombongan itulah yang membuat seorang bupati lupa akan tanggung jawab hakiki yang melekat pada jabatannya. Seorang kepala daerah bukanlah ratu yang tak tersentuh kritik, melainkan pelayan publik yang wajib mengupayakan peningkatan kesejahteraan rakyat. Ia juga memikul tanggung jawab besar untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban masyarakat di wilayahnya.
Ironisnya, apa yang terjadi di Dharmasraya hari ini justru sebaliknya. Alih-alih menciptakan ketenangan, keberadaan akun-akun bodong yang menyerang wartawan malah menimbulkan kegaduhan dan polemik. Publik dipertontonkan pada praktik politik murahan yang memecah belah, bukan kepemimpinan yang menenangkan.
Padahal, wartawan bukan musuh. Mereka adalah pilar keempat demokrasi, pengawas pemerintah, dan corong aspirasi rakyat. Menyerang wartawan dengan buzzer sama saja menolak transparansi dan menutup pintu akuntabilitas. Pemerintahan yang membungkam pers justru memperlihatkan wajah tiraninya sendiri.
Kontras dengan hari ini, bupati-bupati sebelumnya di Dharmasraya selalu menjaga hubungan baik dengan Ormas, OKP, maupun media. Dalam banyak kegiatan resmi, mereka hadir bersama pemerintah, bahkan dilibatkan dalam musyawarah pembangunan daerah. Kehadiran organisasi dan pers dipandang sebagai mitra, bukan ancaman. Tradisi itu yang selama ini membuat Dharmasraya dikenal sebagai daerah yang demokratis, terbuka, dan penuh partisipasi. Sayangnya, di era Annisa, tradisi baik itu justru dipatahkan.
Dharmasraya tidak membutuhkan pemimpin yang sibuk membangun tembok untuk melindungi egonya. Yang dibutuhkan adalah bupati yang mampu bekerja, merangkul semua elemen masyarakat, dan mengembalikan arah pembangunan pada jalur yang benar: meningkatkan kesejahteraan rakyat, menjaga harmoni, dan memperkuat demokrasi lokal.
Jika Annisa terus menutup mata terhadap kritik, menyingkirkan Ormas, memusuhi media, dan mengandalkan buzzer, maka sejarah akan mencatat kepemimpinannya bukan sebagai masa keemasan Dharmasraya, melainkan periode kelam di mana pemerintah daerah kehilangan arah, kehilangan nurani, dan kehilangan rakyatnya sendiri.
Pepatah Minangkabau sudah mengingatkan: “Kok jadi rajo indak rajo-rajo, kok jadi pangulu indak pangulu-pangulu.” Artinya, jabatan tanpa amanah hanya akan menjadikan pemimpin tampak megah di kursi, tapi kosong di hati rakyat.
Penulis, Wartawan Muda
(*)








