Opini

Waspada Jurang Polarisasi

143
Ilustrasi Polarisasi Konflik
Ilustrasi.

Prahara adalah tatkala peristiwa terjadi, berjalan dalam permasalahan rumit belum kunjung usai, ditempuh dengan pola-pola atau terjadi polarisasi kemudian membentuk kubu-kubu.

Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.*

Mjnews.id – Umumnya kubu yang terbentuk berjumlah dua, yaitu dua kubu yang saling berseberangan dan bermusuhan satu sama lain. Jika terdapat kelompok di luar itu, dalam sejarah Islam khususnya disebut Khawarij (keluar dan memilih untuk tidak memihak keduanya).

Dikatakan prahara, lantaran persoalan yang dihadapi rumit dimengerti sehingga kemudian berikutnya berimbas pada pengambilan sikap. Zaman di mana terbentuk polarisasi menjadikan keberpihakan menjelma kebenaran. Suatu hal yang (di)benar(kan). Padahal keberpihakan yang benar sesungguhnya adalah kepada kebenaran.

Sebab kenyataan dalam kebenaran menjadi sasaran. Tatkala kenyataan berjalan dalam ritme yang pada diskursus keilmuan khususnya Filsafat popular dalam terjemahan Indonesia yaitu disebut alami. Ibarat air, kenyataan mengalir tanpa mengenal medan bahkan dapat menerjang segala hal di depan bahkan pada kondisi tertentu tidak peduli apa.

Kemampuan berpikir, utamanya terhadap kebenaran secara objektif, objektivitas dalam arti lepas dari berbagai unsur tambahan, akan menghasilkan kemurnian. Mengurai unsur tersebut tidak ubahnya usaha penjernihan terhadap kenyataan.

Hal ini menjadi penting hanya jika kondisi objektif dianggap bermanfaat, semisal dalam rangka melihat kenyataan yang sesungguhnya. Namun, usaha pembelokan atau pengada-adaan juga terdapat dalam sejarah panjang kehidupan manusia.

Apakah pembelokan terhadap apa yang dikatakan kebenaran dengan merubah atau menambah, baik itu bersifat esensial ataupun yang lain merupakan pangkal masalah? Atau pengalaman sejarah yang dikatakan sebagai pembentuk karakter, disebut pembelok tersebut?
Atau justru sebenarnya manusia lah yang menjadi sumber persoalan, berupa hawa nafsu, kerancuan ego, atau yang disebutkan pada artikel sebelumnya dengan perasaan indah pada kesalahan karena mengikuti bisikan syetan? Maka kondisi stabil dalam objektivitas menjadi penting.

Urgensivitas objektif penting untuk dipertimbangkan utamanya tidak hanya pada pengertian, pemanfaatan namun juga memandang peran luar yaitu yang disebut penulis dengan tambahan (dalam arti pembelokan) sebagai suatu kenyataan menyeluruh. Realita dalam berbagai aspeknya.

Usaha untuk berbuat adil, serta menghindari diri dari perilaku semena-mena adalah bagian pertimbangan jalan ini selain polarisasi. Bukankah itu cukup bijak?

Insya Allahu wa Allahu a’lam.

*Penulis Lepas Yogyakarta

(***)

Exit mobile version