Mjnews.id – Menteri Kehutanan (Menhut), Raja Juli Antoni, melaksanakan perintah Presiden Prabowo Subianto mengolah 20 juta hektare hutan cadangan strategis untuk dijadikan lahan swasembada pangan, energi dan air.
Namun, untuk menghindari tuduhan deforestasi atau pengrusakan ekosistem hutan, sebenarnya Menhut masih punya peluang untuk pemanfaatan bekas areal HPH atau Hak Pengusahaan Hutan yang izinnya masih aktif tetapi tak berproduksi lagi.
“Di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat (Sumbar), areal HPH yang tidak berproduksi lagi terdapat bekas HPH seluas 28.885 hektare, bekas HPH PT. Mufti Karya Lisun Prima (MKLP),” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar, Yandesman, ketika dikonfirmasi awak media di kantornya, Rabu 22 Januari 2025.
Menurut Yandesman, areal HPH MKLP yang hampir 30 ribu hektare itu masih berstatus HPH Open Foresti atau ruang terbuka bekas tebangan hutan.
Namun, ketika ditanyakan tentang konsep dan program pemegang izin HPH PT. MKLP itu bagaimana kelanjutan progresnya ke depan, Yandesman mengatakan, sampai sekarang UPT Kehutanan Wilayah Kabupaten Sijunjung belum memperoleh informasi tentang kelanjutan progres ke depan di lokasi HPH PT MKLP, sekarang status lokasi Open Foresti.
“Yang jelas, areal HPH PT.MKLP itu masih Open Foresti atau ruang terbuka hutan bekas tebangan kayu”, ungkapnya namun tidak menjelaskan secara rinci.
Lanjut Yandesman, karena HPH merupakan kewenangan Kemenhut, dan perihal ini yang lebih pas untuk menjelaskannya adalah pihak Menhut”, pungkasnya.
Diamati, penjelasan Yandesman tentang kelanjutan progres ke depan pemegang perizinan yang masih aktif bagi HPH PT. MKLP belum terdeteksi oleh Menhut perlu menelusuri HPH-HPH Open Foresti yang tak berproduksi lagi.
Diyakini areal HPH Open Foresti di masing-masing daerah provinsi mulai dari Sabang hingga Merauke menjadi peluang besar sebagai pengganti hutan cadangan untuk mensupport program swasembada pangan, energi terbarukan dan air.
Belum lagi bekas areal hutan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang Open Foresti atau IPK yang gagal dengan rencana program semula, dehingga bekas hutan tebangan berdampak menjadi areal hutan kosong dan tak ada kelanjutan program kegiatan yang disyaratkan sebagai pertimbangan sebelum pemberian perizinannya.
(Obral)