Mjnews.id – Terungkapnya dugaan kelebihan transfer anggaran kepada para anggota DPR RI, membuat gelombang kritik publik terhadap pengelolaan dana reses DPR terus menguat. Fakta ini menambah panjang daftar persoalan transparansi di tubuh lembaga legislatif yang mestinya menjadi teladan akuntabilitas publik.
Berdasarkan laporan sejumlah media, dana reses DPR RI mencapai Rp 2,46 triliun per tahun, dengan rata-rata jatah sekitar Rp 2,5 – 4 miliar per anggota DPR setiap tahunnya. Angka fantastis ini kontras dengan minimnya pelaporan dan pengawasan publik atas realisasi kegiatan reses di daerah pemilihan.
Belakangan, DPR melalui Sekretariat Jenderal mengakui adanya kelebihan transfer sebesar Rp 54 juta per anggota yang disebut sebagai “kesalahan administratif.”
Namun, pengakuan itu justru menimbulkan pertanyaan baru: bagaimana mungkin kesalahan dengan nilai besar terjadi pada sistem keuangan negara yang terintegrasi dan diaudit ketat?
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Kebijakan Publik dan Antikorupsi (LEKKA), Firman Maulana, menyebut bahwa dalih administratif tidak dapat diterima tanpa audit independen dan penjelasan terbuka kepada publik.
“Ketika uang rakyat terlibat, tidak ada istilah ‘kesalahan administratif’ yang bisa diselesaikan secara internal. Publik berhak tahu siapa yang salah, di mana kesalahannya, dan bagaimana sistem itu bisa jebol,” tegas Firman dalam keterangannya di Jakarta.
Firman menambahkan, pola pengelolaan dana reses yang bersifat tertutup dan minim verifikasi lapangan membuat potensi penyimpangan anggaran sangat besar.
Ia menilai DPR perlu membuka data lengkap penggunaan dana reses per anggota, termasuk bukti kegiatan dan laporan keuangan yang bisa diakses masyarakat.
“Jika DPR yakin dana itu digunakan dengan benar, buka saja datanya. Publik bukan musuh, tapi pemilik sah dari uang negara. Transparansi adalah kewajiban, bukan pilihan,” ujarnya.
LEKKA secara tegas mendesak KPK dan BPK untuk menelusuri dugaan kelebihan transfer tersebut, termasuk memeriksa apakah ada indikasi manipulasi penganggaran atau kelalaian sistemik dalam proses pencairannya. Lembaga antikorupsi itu juga diminta menelusuri kemungkinan adanya “pola lama” dalam penyaluran dana reses yang tertutup selama ini.











