Senator Papua Barat, Filep Wamafma. |
JAKARTA, MJNews.id – Pada Rabu 12 Oktober 2021, Presiden Jokowi meletakkan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan Smelter PT Freeport Indonesia di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik, Jawa Timur.
Dengan optimis pula Jokowi menyampaikan bahwa Smelter yang akan beroperasi pada tahun 2023 ini, akan menjadi Smelter terbesar di dunia yang mampu mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun. Adapun kapasitas pabrik pemurnian lumpur anoda untuk menjadi emas mencapai 6.000 ton per tahun.
Setali tiga uang dengan kebahagiaan Jokowi, Gubernur Jawa Timur (Jatim) pun mengungkapkan bahwa pembangunan Smelter ini merupakan kado terindah bagi HUT Jatim ke-76, dan berpotensi meningkatkan perekonomian Jatim.
Sejak 1996, PT Freeport Indonesia telah membangun Smelter di Gresik yang beroperasi pada 1998 dengan kapasitas 1 juta ton konsentrat per tahun. Oleh karena produksinya mencapai 3 juta ton per tahun, maka PT Freeport Indonesia kemudian membangun Smelter lagi di Gresik untuk menutupi kekurangan tersebut.
Mengapa bukan Papua yang dipilih sebagai tempat pembangunan Smelter tersebut?
Hasil akhir dari smelter ialah asam sulfat yang bisa dimanfaatkan oleh pabrik pupuk dan semen, di mana di Gresik telah terdapat pabrik semen dan pupuk. Selain itu, perlu dibangun pula pabrik pengolahan asam sulfat dengan kebutuhan pasokan listrik yang sangat besar, sehingga Papua “dianggap” belum siap untuk itu.
Menariknya, pada Mei 2021, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pernah memastikan bahwa di Papua, yaitu di Kabupaten Fakfak, akan dibangun Smelter untuk melengkapi proses pengolahan hasil tambang emas PT Freeport Indonesia. Sayangnya, janji itu hanya terucap di bibir saja.
Pertanyaan yang sangat sederhana dilontarkan, Orang Papua dapat apa?
Tindakan pembangunan Smelter di Gresik tersebut membuat Senator Papua Barat, Filep Wamafma geram. Menurutnya, Pemerintah seharusnya lebih awal memperhatikan kehidupan ekonomi Papua sebagai “tuan rumah” dari SDA yang digali.
“Otonomi Khusus (Otsus) yang sudah dimulai sejak 2001, ternyata memang gagal, karena sepertinya hasil bumi Papua tak mampu mensejahterakan Orang Papua. Terlepas dari berbagai persoalan yang mengikutinya, seharusnya alasan bahwa di Papua belum ada pusat pengolahan asam sulfat yang membutuhkan sumber daya kelistrikan yang besar, merupakan alasan yang tidak bisa diterima begitu saja dan terkesan dibuat-buat. Bukankah sejak Kontrak Karya PT Freeport Indonesia Jilid 1, seharusnya Pemerintah Pusat memikirkan hal ini? Dari tahun 1996 hingga 2021, mengapa tidak ada usaha Pemerintah Pusat untuk mendirikan semua fasilitas pendukung guna mendukung pembangunan Smelter di Papua? Mengapa justru hasil bumi Papua diolah di Jawa?” kata Filep mempertanyakan.
Memang benar bahwa di tengah pandemi, pertumbuhan ekonomi Papua tumbuh 13,14 persen pada kuartal II Tahun 2021. Namun hal itu karena peran pertambangan. Tanpa pertambangan dan penggalian, ekonomi Papua hanya tumbuh 2,81 persen pada kuartal II-2021.
Fakta ini seharusnya menyadarkan Pemerintah Pusat bahwa pembangunan industri terkait pertambangan di Papua, tidak boleh dikeluarkan dari Provinsi Papua.
“Tingkat penggangguran terbuka di Papua masih berada di angka 3.77 persen dan di Papua Barat berada di angka 6,18 persen. Bila Smelter dibangun di Papua, maka masalah pengangguran dapat teratasi, dan Pemerintah Daerah akan lebih berkonsentrasi pada masalah kesehatan dan pendidikan Orang Papua.” tambah tokoh Papua Barat ini.
Di ruang politik, kegagalan Otsus Jilid I kemudian coba diselesaikan oleh Otsus Jilid II. Dalam Konsideran Menimbang UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua disebutkan bahwa dalam rangka percepatan pembangunan kesejahteraan dan peningkatan kualitas pelayanan publik serta kesinambungan dan keberlanjutan pembangunan di wilayah Papua, perlu dilakukan upaya untuk melanjutkan dan mengoptimalkan pengelolaan penerimaan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua secara akuntabel, efisien, efektif, transparan, dan tepat sasaran, serta untuk melakukan penguatan penataan daerah provinsi di wilayah Papua sesuai dengan kebutuhan, perkembangan, dan aspirasi masyarakat Papua.
Konsideran ini menurut Filep yang terlibat dalam revisi Otsus, seperti sia-sia belaka lantaran konsentrasi Presiden Jokowi justru tetap di Pulau Jawa.
Menurutnya, mungkin jawaban Pemerintah Pusat hanyalah berkaitan dengan dana perimbangan, di mana sesuai dengan Pasal 34 ayat (3) buruf b angka 3 UU Nomor 2 Tahun 2021, alokasi dana perimbangan yang berasal dari bagi hasil sumber daya alam dari pertambangan umum sebesar 80 persen. Besarnya dana ini tentu sangat kecil dan tidak sebanding dengan besarnya manfaat yang diterima Orang Papua bila Smelter dibangun di Papua.
Menurut wakil ketua I Komite I DPD RI ini, pola pemanfaatan hasil bumi Papua dalam kebijakan pendirian Smelter di Gresik, semakin mempertegas beberapa hal ini: pertama, kuasa provinsi lain (terutama provinsi di Jawa) atas Papua; kedua, hasil bumi Papua hanya dimanfaatkan saja sampai habis; ketiga, Orang Papua tetap termarginalkan.
“Saya berada pada pondasi yang kuat untuk menolak pembangunan Smelter di Gresik. Papua, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, harus memiliki Smelter; dan Pemerintah Pusat harus memenuhi permintaan tersebut atas dasar amanat Otsus,” tegas Filep.
Menurutnya, penegasian permintaan Orang Papua dan pembukaan Smelter di Gresik, hanyalah memupuskan kepercayaan Orang Papua.
“Pemerintah Pusat seharusnya berhati-hati, karena benih kebencian akan tumbuh semakin menguat, saat rumah Papua dimasuki dan dirampok secara diam-diam! Harus diakui bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jatim akan meningkat dengan sangat tinggi dengan adanya Smelter ini. Wajah bahagia Gubernur Jatim seolah-olah menunjukkan bahwa masyarakat Jatim akan sangat sejahtera. Sementara itu, di pedalaman Papua, bunyi letusan senjata masih menjadi bagian dari kehidupan OAP. Begitulah, yang satu bermandikan emas, yang lain masih bermandikan darah! Harus bagaimana lagi?” katanya.
(rls/dpd)