Meski demikian, dia mendorong agar Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) lebih diberdayakan untuk meningkatkan pendapatan desa. Dari hasil pengamatan ke desa-desa, Bumdes lebih banyak dibentuk hanya menghabiskan dana desa. Hampir semua Bumdes yang dibentuk tidak memiliki managemen profesional yang bisa menghasilkan dana tambahan bagi desa.
Sebagai contoh, Bumdes yang ada di NTT, mungkin hanya 10 persen yang memiliki kegiatan. Sementara 90 persen sisanya, tidak jelas karena tidak ada kegiatan serta tidak ada laporan keuangan.
“Ini perlu perbaikan kedepan,” tegas Abraham.
Dia juga meminta ada kerjasama kalaboratif antara Pemerintah Desa dan Pemerintah Kabupaten dengan Perguruan Tinggi dalam mengelola dana desa. Kerjasama juga harus dilakukan dengan dunia usaha. Hal itu agar pengelolaan dana desa benar-benar bermanfaat untuk kemajuan desa.
Masukan lain dari Abraham terkait revisi UU Desa adalah masalah kegiatan Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Dia berharap Musrenbangdes dilakukan berdasarkan riset terhadap berbagai potensi sumber daya alam dan kemampuan sumber daya manusia dalam satu desa. Tujuannya, agar program yang dikerjakan bukan subyektivitas dari Kades tetapi berdasarkan kebutuhan masyarakat.
“Selama ini, kegiatan Musrenbangdes suka-suka Kades saja. Program yang dilakukan suka-suka juga. Bukan permintaan masyarakat. Akibatnya, dana desa tidak efektif untuk kemajuan desa,” jelas Abraham.
Hal lain yang diusulkan adalah terkait keberadaan pendamping desa. Abraham merasa aneh karena camat, bupati hingga gubernur tidak bisa tegur pendamping desa karena mereka bertanggung jawab langsung ke kementerian desa. Padahal pendamping desa ada di wilayah yang dipimpin camat, bupati maupun gubernur.
“Ini perlu perbaikan kedepan supaya pemilik wilayah di bawah bisa tegur pendamping desa jika ada kesalahan,” tutup Abraham.
(dpd)