banner pemkab muba
KesehatanParlemen

Soal RUU Kesehatan, Anggota DPR: IDI Jangan Dikte Parlemen dan Pemerintah!

171
×

Soal RUU Kesehatan, Anggota DPR: IDI Jangan Dikte Parlemen dan Pemerintah!

Sebarkan artikel ini
Anggota Komisi Ix Dpr Ri, Irma Suryani Chaniago
Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani Chaniago. (f/ist)

Mjnews.id – Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani Chaniago menilai, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) seharusnya tidak intervensi apapun perihal RUU Kesehatan Omnibus Law kini sedang dilakukan pembahasan bersama oleh DPR bersama Pemerintah.

Pasalnya, wanita akrab disapa Uni Irma bilang, ketakutan IDI adanya RUU ini karena mereka selama ini berada di zona nyaman dengan mengatasnamakan ke-exclusiv-an organisasi profesi kedokteran, sudah lupa diri dan tidak tahu lagi memposisikan dirinya terhadap anggota dan fungsinya hanya sebagai organisasi profesi, hanya demi keuntungan lembaga dan oknum-oknum berada di dalamnya.

Politikus Partai NasDem ini menuturkan, kenapa sampai begitu ketakutan IDI merespon poin-poin ada dalam pembahasan di RUU Kesehatan Omnibus Law ini.

Pertama, mereka lupa bahwa Parlemen punya tanggungjawab terhadap regulasi negatif impact terhadap masyarakat (karena dokter-dokter juga bagian dari masyarakat).

Kedua, mereka lupa bahwa regulasi itu ada di tangan pemerintah. Parlemen dan organisasi profesi serta masyarakat adalah bagian dari kontrol system yang efektif operasional dari regulasi tersebut

“Jadi, IDI tidak punya hak sama sekali untuk meminta lembaga perwakilan rakyat melindungi masyarakat diwakilinya untuk mendapatkan service yang lebih baik dari negara,” kata Irma kepada wartawan, Selasa 11 April 2023.

Ketiga, kata Irma, IDI harus di Audit! Karena selama ini mengelola banyak sumber-sumber penghasilan tidak langsung seperti “rekomendasi” untuk STR dan SIP, rekomendasi terkait limbah rumah sakit maupun klinik, rekomendasi untuk melanjutkan sekolah specialist (PPDS). Bahkan dokter sudah dinyatakan lulus oleh perguruan tinggi dan ingin magang pun harus mendapatkan rekomendasi IDI. Apalagi, menurut Irma, Indonesia kekurangan dokter.

Untuk itulah, Parlemen dan Pemerintah, menurut Irma, akan membuat tata kelola dapat mempermudah anak-anak bangsa ingin sekolah di Kedokteran. Dan sekolah tidak akan mahal karena akan ada banyak sekolah-sekolah kedokteran akan diberikan izin dengan standar kualitas akan ditentukan oleh Pemerintah

Selama ini hanya anak orang kaya saja mampu jadi dokter atau berprofesi menjadi dokter, karena selain fakultas kedokterannya terbatas, biaya untuk masuk ke fakultas kedokteran juga sangat mahal.

“Ini menyebabkan akhirnya profesi ini menjadi exclusive, ditambah lagi organisasi profesinya (IDI) dibiarkan mengambil alih wewenang Pemerintah dengan segala tetek bengek rekomendasi akhirnya membuat Indonesia kekurangan dokter, sehingga banyak dokter harus praktek di beberapa RS,” tegas Irma.

Ke empat, Irma menilai sungguh ngawur jika IDI menyatakan Draft RUU Kesehatan tidak jelas asal-usulnya! Dalam hal ini IDI bisa dinyatakan telah menghina parlemen (contemp of parliament). Karena pada dasarnya Draft RUU kesehatan yang merupakan inisiatif DPR menjadi tanggung jawab lembaga ini atas keberadaannya.

“Jadi IDI seharusnya tidak berfikir negatif! Lagi pula draft RUU akan dibahas bersama antara parlemen dan pemerintah, jadi tidak ada alasan IDI menyatakan RUU ini tidak jelas asal-usulnya,” kata Irma menegaskan.

Karena itu, Irma menegaskan, sebagai organisasi profesi, IDI sebaiknya fokus saja pada tupoksinya, yaitu melindungi dan mensejahterakan anggota. Tidak perlu ikut-ikutan menjadi regulator.

Terlebih lagi, sebagai organisasi, harusnya IDI memberikan masukan pada RUU ini akan lebih bijak, daripada menghalang-halangi Parlemen dan Pemerintah membuat regulasi berguna untuk rakyat.

“Pemerintah dan DPR tidak akan mengatur organisasi profesi, biar itu jadi domain anggota organisasi profesi seperti apa dan bagaimana yang mereka inginkan. Dan Pemerintah serta DPR akan tetap mengakui organisasi profesi, Konsil dan Kolegium serta diharapkan Pemerintah akan menetapkan regulasinya dalam bentuk Peraturan Pemerintah, karena ini merupakan fungsi eksekutif negara, bukan fungsi legislatif (pembuat UU) maupun yudikatif (pemutus hukum),” tandasnya.

Sebelumnya, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) meminta pembahasan RUU Kesehatan (Omnibus Law) segera dihentikan.

“Ada 4 alasan kenapa pembahasan RUU Kesehatan (Omnibus Law) ini harus dihentikan,” kata Ketua Umum PB IDI, Mohammad Adib Khumaidi dalam siaran pers, Minggu (9/4/2023).

(eki)

Kami Hadir di Google News

ADVERTISEMENT

banner 120x600