BudayaOpini

Perlukah Pemuda Menjaga Tradisi Maota di Lapau Sebagai Tradisi Masyarakat Minangkabau?

247
×

Perlukah Pemuda Menjaga Tradisi Maota di Lapau Sebagai Tradisi Masyarakat Minangkabau?

Sebarkan artikel ini
Imra Gusnedi

Oleh: Imra Gusnedi
Mjnews.id – Jika Anda pernah berkunjung ke salah satu nagari di Kabupaten Padang Pariaman, Nagari III Koto Aur Malintang, maka ada sebuah aktivitas menarik yang biasa di lakukan oleh masyarakat di sana. Pada malam harinya, kaum laki-laki biasanya akan berkumpul di sebuah warung yang ada di desa (nagari) tersebut sambil melaksanakan aktivitas “maota”. Fenomena unik ini jarang sekali kita temui di perkotaan dimana pada masyarakat perkotaan waktu malam adalah waktu bagi masyarakat berdiam di rumah sembari berkumpul dengan keluarga. 
Orang Minangkabau memiliki sebuah tradisi berdiskusi tentang suatu topik di tempat non-formal yang sering dikenal dengan lapau. Secara harfiah, maota berarti mengobrol atau berbicara. Sedangkan lapau artinya warung, dalam hal ini sering merujuk kepada warung kopi. Kebiasaan ini sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat Minangkabau baik daerah darek maupun daerah rantau. Biasanya aktivitas maota di lapau terjadi di waktu pagi – sebelum masyarakat pergi bekerja, atau malam hari sebagai pengisi waktu senggang mereka. 
Bagi masyarakat Minang, kegiatan maota di lapau ini mempunyai makna sosial dan kebudayaan yang tinggi karena melalui interaksi dan komunikasi di lapau ini masyarakat bisa berdemokrasi dan bertukar pikiran dengan orang yang memiliki latar belakang yang berbeda. Dengan maota di lapau, berbagai informasi yang ada di masyarakat dibahas, didukung, maupun diperdebatkan oleh pelakunya. 
Kebiasaan maota di lapau ini biasa dilakukan oleh kaum laki-laki yang pada umumnya lebih dominan dilakukan oleh orang yang sudah berkeluarga. Namun, tidak menutup kemungkinan kegiatan ini juga diikuti oleh pemuda atau remaja. Seiring berjalannya waktu, aktivitas ini juga semakin pudar di beberapa daerah meskipun di daerah darek masih sering dilaksanakan kebiasaan ini. Setidaknya secara keseluruhan kebiasaan ini perlu diperhatikan lebih lanjut agar tidak punah. Dalam hal ini, peran pemuda juga turut dinantikan agar eksistensi maota di lapau sebagai ciri khas orang Minang tetap terjaga. 
Pemuda sebagai paga dalam nagari tentunya juga harus terbiasa dengan aktivitas atau kebiasaan yang dilaksanakan di masyarakat. Terutama bagi kaum lelaki sebab nantinya akan ikut serta membangun daerahnya. Oleh karena Maota di lapau adalah tradisi Minangkabau, yang nantinya akan melestarikan dan mempertahankan budaya ini adalah anak muda Minangkabau juga.
Berdasarkan pengalaman saya ketika mengunjungi salah satu lapau, fenomena ini memang terjadi. Kaum bapak dan orang yang sudah berkeluarga cukup ramai untuk saling bertukar pikiran di lapau, namun partisipasi pemuda tidak terlalu tampak di sana. Kekhawatiran saya, ketika anak muda tidak terlibat di sana, tradisi ini tidak lagi memiliki estafet yang akan melanjutkannya. 
Kedekatan pemuda dengan masyarakat bisa mulai dijalin dari tradisi maota di lapau. Pemuda yang turut andil dalam maota di lapau ini akan terpapar beragam informasi yang diperbincangkan oleh pelakunya. Maka secara tidak langsung, sedikit atau banyak pemuda akan mulai melibatkan diri ke dalam kelompok tersebut. 
Dalam aktivitas maota di lapau ini juga perhatian palapau yang menyentuh urusan non-privat akan bersinggungan dengan kepentingan bersama. Pembahasan seperti isu sosial, politik, ekonomi kebudayaan dan lain sebagainya mendorong palapau tersebut, terutama pemuda yang terlibat lebih sensitif terhadap apa yang terjadi di lingkungan mereka. 
Hal lain yang bersinggungan dengan pemuda terkait maota di lapau adalah proses transfer knowledge yang berlaku ketika proses maota terjadi. Pemuda sebagai generasi yang memiliki gap serta dunia yang berbeda dengan Gen-X tentu akan lebih banyak terpapar informasi dari luar yang sifatnya massif.
Dari sudut pandang positif, paparan informasi tersebut bisa menjadi sebuah pengetahuan baru yang bisa dibagikan oleh pemuda ketika terlibat dalam aktivitas maota di lapau sehingga dengan demikian, perdebatan isi pikiran yang terjadi di lapau akan lebih kaya insight dan pengetahuan yang akan berdampak terhadap kebijaksanaan masyarakat dalam berkehidupan.
Menurut hemat saya, belum terlambat untuk bisa memberikan penyadaran terhadap pemuda Minangkabau bahwa tradisi maota di lapau ini patut menjadi perhatian khusus mereka. Meskipun demikian, peran serta kaum dewasa seperti orang tua, ninik mamak, maupun tokoh masyarakat juga tak bisa dikesampingkan. Pada akhirnya kemauan bersama untuk melestarikan tradisi Minangkabau-lah yang bisa merawat dan mewujudkan cita-cita tersebut. 
Penulis, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas Padang
(***)

Kami Hadir di Google News

ADVERTISEMENT