SURABAYA, Mjnews.id – Sebagai Ketua DPD RI yang telah menyerap aspirasi masyarakat dari Aceh hingga Papua, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti sangat memahami suasana kebatinan masyarakat. Hal tersebut turut mendorong LaNyalla untuk maju menjadi Presiden di Pemilu 2024. LaNyalla menegaskan jika cita-citanya adalah menjaga kedaulatan bangsa.
Hal itu disampaikannya saat menjadi narasumber utama pada segmen ‘Ranah Publik’ Radio Suara Muslim Surabaya, Jumat (27/5/2022).
Dipandu Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Suparto Wijoyo, sebagai pemantik diskusi dan Muhammad Nashir sebagai pembawa acara, LaNyalla memaparkan sejarah perjalanannya menjadi Ketua DPD RI dan cita-citanya menjadi orang nomor satu di Indonesia.
LaNyalla menegaskan tahu betul bagaimana suasana kebatinan rakyat dalam menata kehidupannya. LaNyalla yang berangkat dari masyarakat bawah, tahu betul bagaimana perihnya nasib rakyat. Ia kemudian bertekad mencalonkan diri menjadi Gubernur Jawa Timur.
Tujuannya untuk memperbaiki nasib masyarakat Jawa Timur. Sayang, LaNyalla tak diberikan rekomendasi oleh Partai Gerindra kala itu.
“Akhirnya saya berpikir untuk maju sebagai calon independen. Pilihannya adalah DPD RI, karena kalau melalui partai, saya yakin akan dijegal terus. Alhamdulillah saya menjadi anggota DPD RI dari Jawa Timur dengan memperoleh suara 2,2 juta lebih suara,” ujar LaNyalla.
LaNyalla pun ikut dalam pencalonan sebagai Ketua DPD RI. Ia bersaing dengan tiga kandidat lainnya.
“Saat memaparkan visi misi, saya saat itu menyampaikan kepada voters ‘kalau saya tidak amanah, semoga Allah SWT tidak menjadikan saya sebagai Ketua DPD RI. Tetapi kalau saya amanah, semoga Allah SWT menggerakkan hati bapak dan ibu sekalian’. Akhirnya saya terpilih sebagai Ketua DPD RI dengan selisih 7 suara,” papar LaNyalla.
Menurutnya, salah satu tantangan yang dihadapi DPD RI dalam menjaga kedaulatan rakyat adalah terbatasnya
wewenang yang diberikan konstitusi kepada lembaga yang dipimpinnya.
“Selama ini kami memaksimalkan fungsi pengawasan pelaksanaan undang-undang. Kami menyuarakan persoalan dan permasalahan yang terjadi di daerah ke tingkat nasional, agar didengar dan menjadi perhatian eksekutif,” kata LaNyalla pada dialog yang didengarkan oleh sejuta orang itu.
Mengenai tindak lanjutnya, Senator asal Jawa Timur itu menilai sepenuhnya kewenangan eksekutif atau pemerintah. Padahal idealnya, DPD RI bisa menjadi saluran yang sama kuatnya dengan DPR RI, karena DPD RI representasi dari daerah. Sedangkan DPR RI representasi dari partai politik.
“Sebagai wakil daerah, DPD RI mempunyai tugas utama untuk menyuarakan kepentingan daerah agar mendapat perhatian dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional. Karena itu, sejak dilantik sebagai Ketua DPD RI, saya terus turun ke daerah untuk melihat dan
mendengar langsung persoalan yang dihadapi daerah baik pemerintah
daerah, maupun stakeholder yang ada di daerah,” katanya.
LaNyalla bersyukur beberapa persoalan yang dihadapi daerah dan stakeholder di daerah mampu diselesaikannya. Hanya saja, kewenangan yang terbatas itu membuat DPD RI tak bisa mengeksekusi langsung persoalan yang ada di masyarakat. Kasus Surat Ijo di Surabaya misalnya. Meski semua kementerian telah setuju, namun masih terkendala persetujuan Presiden Jokowi.
“Saya terus mengupayakan karena Surat Ijo ini hanya menunggu persetujuan Presiden saja. Presiden di mana-mana bagi sertifikat tanah. Surat Ijo ini sudah bersertifikat, tinggal dibagikan saja kepada masyarakat,” kata LaNyalla.
Menurut LaNyalla, salah satu kendala yang dihadapi DPD RI adalah imbas dari kecelakaan konstitusi sejak amandemen 1999 hingga 2002. Karena sejak saat itu, LaNyalla menyebut Indonesia melakukan perubahan besar-besaran terhadap sistem ketatanegaraan.
Amandemen yang pada awalnya dimaksudkan untuk melakukan penyempurnaan atas Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli, ternyata berubah menjadi pembongkaran total atas konstitusi yang dihasilkan para pendiri bangsa tersebut.
“Padahal, perubahan konstitusi seharusnya dilakukan dengan Adendum, sehingga tetap berada dalam koridor struktur bangunan konstitusi tersebut. Meskipun dilakukan amandemen, konstitusi kita tetap nyambung dengan Pancasila dan teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,” kata LaNyalla.
Faktanya, kata LaNyalla, konstitusi kita saat ini sudah tidak nyambung lagi dengan Pancasila dan teks Pembukaan UUD 1945. Sejak amandemen saat itu hingga hari ini, entitas civil society non-partisan terpinggirkan. Semua simpul penentu perjalanan bangsa ini direduksi hanya di tangan partai politik. Inilah yang kemudian menghasilkan pola the winner takes all. Partai-partai besar menjadi tirani mayoritas untuk mengendalikan semua keputusan melalui voting di parlemen.
“Mereka juga bersepakat membuat Undang-Undang yang memberi ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold,” ujar LaNyalla. Padahal, ia melanjutkan, dalam pasal 6A UUD 1945 ambang batas pencalonan Presiden 20 persen sama sekali tak diatur. Hal itu diatur dalam pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Artinya, ambang batas pencalonan Presiden melanggar konstitusi.
“Itu sebabnya DPD RI secara kelembagaan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, karena memang melanggar konstitusi kita. Seharusnya tidak ada ambang batas pencalonan Presiden, sehingga semua partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Presiden. Juga, dibuka kesempatan untuk masyarakat non-partisan untuk mencalonkan Presiden,” papar LaNyalla.
Oleh karenanya, dalam menata bangsa ini ke depan LaNyalla memulainya dengan meluruskan niat yakni murni untuk memperbaiki negara ini. “Kedua, harus konsisten dan tidak terlibat dengan oligarki ekonomi. Ketiga, harus berani menyampaikan apa yang benar itu benar. Apa yang haq itu haq. Harus
berani keluar dari mainstream oligarki ekonomi. Rakyat harus diberi tahu apa yang sebenarnya terjadi,” katanya.
(rls/dpd)