Mjnews.id – Hukum Agraria merupakan pelaksanaan dari Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang terdapat dalam Pasal 33, Undang-Undang Dasar, serta manifesto politik Republik Indonesia yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960. Hal ini mewajibkan negara untuk mengatur kepemilikan tanah dan memimpin penggunaannya.
Undang-Undang Agraria Nomor 5 Tahun 1960 mencabut peraturan-peraturan lama terkait pertanahan. Sebagai contoh, peraturan lama seperti Agrarische Wet pada tahun 1870, yang termasuk dalam Pasal 51 wetop de staatsinrichting van Nederlands-Indië, dan Domeinverklaring untuk Sumatera dalam Pasal 1 Staatsblad 1874 Nomor 94f, dicabut melalui undang-undang ini.
Dengan demikian, kerajaan-kerajaan lama di Sumatera diimbau untuk mendaftarkan kembali tanah mereka.
Dalam Bagian 4 Undang-Undang Pokok Agraria, tercantum Hak Guna Usaha. Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu tertentu, baik oleh militer maupun badan usaha, sebagaimana diatur dalam Pasal 28.
Jika Pangdam I Bukit Barisan memiliki Hak Guna Usaha, maka hak tersebut sah secara hukum dan diberikan oleh Negara. Surat-surat lama seperti surat grandsultan tidak berlaku lagi dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria yang baru. Oleh karena itu, yang berlaku adalah Undang-Undang Agraria yang sekarang.
Terjadinya sengketa tanah di Ramunia I antara Kodam I Bukit Barisan dan pihak yang mengklaim sebagai kuasa hukum Srimaharaja Sultan Ramunia, Kepala Puskopkar “A” BB, Kolonel Arh Toto Raharjo, mengatakan bahwa tanah sengketa di Ramunia I sepenuhnya merupakan milik Kodam I Bukit Barisan berdasarkan Surat Keputusan Kepala BPN RI No.3/HGU/1993, tertanggal 1 Maret 1993 (Sertifikat HGU No.1 tanggal 26 Januari 1996).
“HGU tersebut telah diperpanjang dengan Seritifikat HGU Nomor 5417 dan berlaku hingga 31 Desember 2023,” kata Kolonel Arh Toto Raharjo, Sabtu (20/05/2023).
Kapuskopkar “A” BB menjelaskan bahwa awalnya luas wilayah Ramunia I tercatat dalam satu sertifikat, namun dengan perkembangan peraturan Badan Pertahanan Nasional (BPN), luas tanah tersebut dibagi menjadi 6 bagian. Namun, luas wilayah tersebut berkurang karena sebagian tanah digunakan oleh negara untuk pembangunan sungai dan jalan yang merupakan milik negara.
Kapuskopkar “A” BB menyayangkan bahwa pihak yang mengklaim kuasa hukum Srimaharaja Sultan Ramunia tidak mempelajari asal-usul sejarah tanah Ramunia I dan justru membuat kesimpulan sepihak dengan menunjukkan foto sertifikat grandsultan yang keabsahannya tidak diketahui. Hal ini kemudian menghasilkan pemberitaan negatif di media terkait Prajurit Puskopad I/BB dan Pangdam I Bukit Barisan.
Kapuskopkar “A” BB berharap masalah ini dapat segera diselesaikan secara bersama-sama antara Kodam I Bukit Barisan dan pihak Srimaharaja Sultan Ramunia, tanpa perlu menyebarkan berita negatif melalui kuasa hukum yang justru dapat memperkeruh keadaan.
Kapuskopkar “A” BB juga membuka kemungkinan penyelesaian melalui jalur hukum untuk mencari dan memperoleh fakta hukum yang sebenarnya.
(***)