MEDAN, Mjnews.id – Hukum pidana telah terjadi pergeseran paradigma dalam sistem pemidanaan dari aliran klasik yang berorientasi pada penghukuman dan pembalasan menjadi aliran modern dan post modern yang berorientasi pada perbaikan dan menjaga keseimbangan masyarakat.
Hal ini disampaikan oleh Pakar Hukum Pidana Dr. Alpi Sahari, SH. M. Hum kepada awak media, Rabu (25/5/2022) dalam menanggapi penerapan restorative justice penyelesaian sengketa antara 40 orang petani dan perusahaan pemegang izin penguasaan dan pemanfaatan lahan di Mukomuko Bengkulu atas peristiwa pidana dugaan tindak pidana pencurian TBS.
Hukum pidana dimaknai sebagai rechtsdelicten yang perumusan delict-nya bermula dari ketidakadilan. Oleh karena itu, perbuatan tersebut dilarang yang sejatinya lahir dari nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat.
“Wetbook van stafrecht sendiri merumuskan rechtdelicten nya berupa delik termasuk Pasal 362 KUH Pidana yang biasanya lahir dari norma agama dan norma kesusilaan”, ujar Dr. Alpi.
“Indonesia sebagai postulat dasar nya yakni Pancasila meletakkan nilai-nilai keadilan dalam tatanan masyarakat dan menjaga keseimbangan dalam masyarakat”, tambahnya.
Kabareskrim Polri, Komjen Pol. Drs. Agus Andrianto, SH. MH, menurut Dr. Alpi Sahari, SH. M. Hum, telah meletakkan dasar sejatinya Polri sebagai prime mover penegakan hukum dalam bingkai criminal justice system yang berlandaskan Pancasila, UUD 1945 dan UU Polri termasuk transformasi Polri yang PRESISI.
Penyidik Polri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya tentunya tidak terlepas dari grand desain Polri yakni menciptakan ketertiban dan keteraturan di tengah-tengah masyarakat.
Penegakan hukum yang mengabaikan grand desain ini tentunya berimplikasi terhadap ketertiban dan keteraturan masyarakat karena orientasi yang didasarkan pada penghukuman bukan sebagai problem solving bahkan dapat memicu timbulnya ketidakteraturan dan ketidaktertiban itu sendiri.
Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam theory of pointless punishment. Rechtsdelicten melalui restorative justice di era distrupsi merupakan solusi dalam penanggulangan kejahatan yang selaras dengan theory broken window.
Teori ini sering dikemukakan oleh Bapak Wakapolda Sumut, Brigjen Pol. Dr. Dadang Hartanto, S.IK, SH, MSi di saat kami sering berdiskusi terkait kriminalitas di wilayah hukum Polda Sumut terutama untuk mendorong pemulihan ekonomi.
Teori ini dasarkan pada beberapa pandangan di bidang ilmu hukum khususnya hukum pidana yakni:
Pertama, Sosiologi Hukum. Kejahatan adalah perbuatan yang oleh hukum dilarang dan diancam dengan suatu sanksi, sosiologi hukum menyelidiki sebab- sebab kejahatan dan menyelidiki faktor apa yang menyebabkan perkembangan hukum khususnya hukum pidana.
Kedua, etiologi kejahatan adalah cabang ilmu kriminologi yang mencari sebab musabab dari kejahatan.
Ketiga, penologi yakni ilmu tentang hukuman, oleh karena itu ilmu hukum pidana adalah normativestrafrechtwissenschaft sementara kriminologi adalah faktuele strafrecht wissenschaft.
(Eki)