Opini

Partai Politik dan Krisis Identitas: Ketika Ideologi Tak Lagi Menjadi Kompas

102
×

Partai Politik dan Krisis Identitas: Ketika Ideologi Tak Lagi Menjadi Kompas

Sebarkan artikel ini
Tiara Agnesia
Tiara Agnesia. (f/dok. pribadi)

Di tengah gegap gempita demokrasi Indonesia, partai politik seharusnya menjadi mercusuar yang menuntut arah bangsa. Mereka diharapkan menjadi penjaga ideologi, penggerak aspirasi rakyat, dan penegak moral politik.

Oleh: Tiara Agnesia

Mjnews.id – Namun, realitas yang kita saksikan hari ini menunjukkan sesuatu yang jauh berbeda. Partai politik di Indonesia tampak kehilangan identitasnya. Ideologi yang dulu menjadi kompas perjuangan kini perlahan pudar, tergantikan oleh orientasi pragmatis kekuasaan, elektabilitas, dan kepentingan sesaat.

ADVERTISEMENT

Fenomena ini bukan sekadar isu moral politik, tetapi tanda krisis yang lebih dalam, krisis identitas. Banyak partai yang lahir dengan semangat ideologis, namun seiring waktu berubah menjadi mesin elektoral tanpa arah nilai yang jelas.

Lihatlah bagaimana partai-partai di Indonesia saat ini dengan mudah berkoalisi, bahkan dengan pihak yang secara ideologis berseberangan, demi kepentingan politik jangka pendek. Koalisi besar yang dibangun menjelang Pemilu bukan lagi hasil dari kesamaan visi atau cita-cita, melainkan kalkulasi strategis demi peluang menang yang lebih besar.

Dalam konteks ini, politik kehilangan maknanya sebagai ajang pertarungan gagasan. Ia berubah menjadi arena transaksi, tempat kepentingan ekonomi dan kekuasaan bertemu, sering kali dengan mengorbankan kepentingan publik.

Ketika ideologi tidak lagi menjadi landasan, partai politik kehilangan karakter. Mereka menjadi seragam dalam strategi, mirip dalam retorika, dan nyaris tak bisa dibedakan dalam tindakan. Publik pun kesulitan membedakan mana partai yang benar-benar memperjuangkan kesejahteraan rakyat, dan mana yang hanya memanfaatkan rakyat sebagai batu loncatan menuju kursi kekuasaan.

Krisis identitas partai ini diperparah oleh lemahnya kaderisasi dan pendidikan politik di internal partai. Banyak kader muda yang naik bukan karena kompetensi atau pemahaman ideologis, melainkan karena kedekatan personal dengan elit partai kekuatan finansial.

Akibatnya, regenerasi politik berjalan tanpa nilai. Politisi muda lahir tanpa fondasi ideologis yang kuat, melanjutkan pola lama yang penuh kompromi dan oportunisme.

Selain itu, hubungan partai dengan konstituen juga kian longgar. Ketika partai kehilangan ideologi, mereka kehilangan basis sosial yang solid. Tak heran jika dalam Pemilu, loyalitas pemilih cenderung fluktuatif.

Masyarakat memilih bukan karena kedekatan ideologis, melainkan karena figur atau janji pragmatis yang ditawarkan kandidat. Demokrasi elektoral kita pun akhirnya menjadi dangkal, berisik di permukaan, tapi miskin substansi.

Padahal, di masa lalu, ideologi memainkan peran penting dalam membentuk karakter politik bangsa. PNI dengan nasionalismenya, Masyumi dengan Islam moderatnya, dan PKI dengan perjuangan kelasnya. Semua memiliki pijakan nilai yang jelas. Walaupun berbeda arah, mereka memperkaya wacana politik Indonesia dengan gagasan, bukan sekadar strategi.

Baca berita Mjnews.id lainnya di Google News

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT