Mjnews.id – Ketidakhadiran Kabupaten Dharmasraya dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2030 bukan sekadar sebuah kelalaian teknis, ini adalah tanda bahaya serius yang seharusnya mengguncang kesadaran kita semua.
Oleh: Sutan Sari Alam
Saat daerah lain berebut posisi strategis dalam peta pembangunan nasional, Dharmasraya justru absen dari daftar prioritas. Kondisi ini mengindikasikan risiko besar masa depan pembangunan daerah yang tanpa arah, tanpa dukungan, dan berpotensi tertinggal semakin jauh.
RPJMN adalah dokumen negara yang menentukan arah kebijakan pembangunan nasional dalam lima tahun ke depan. Ia menjadi landasan pengalokasian program strategis, proyek infrastruktur, hingga dukungan anggaran dari pemerintah pusat.
Tidak masuknya Dharmasraya ke dalam RPJMN berarti satu hal. Dharmasraya tidak dianggap prioritas dalam peta pembangunan nasional 2025-2030. Akibatnya, peluang untuk mengakses proyek nasional, bantuan teknis, hingga pendanaan skala besar menjadi sangat terbatas, bahkan mungkin tertutup sama sekali.
Di tengah kompetisi antar daerah yang semakin ketat, kegagalan ini harus dibaca sebagai alarm darurat. Ada yang salah dalam pendekatan perencanaan, diplomasi, dan advokasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Dharmasraya.
Di saat kepala daerah lain membangun jejaring kuat di tingkat pusat, melobi kementerian dan memastikan program-program strategis daerah mereka diakomodasi dalam dokumen nasional, Dharmasraya justru seolah berjalan di tempat.
Lebih ironis lagi, kegagalan ini terjadi di tengah kondisi masyarakat Dharmasraya yang sangat membutuhkan percepatan pembangunan, infrastruktur jalan yang masih jauh dari layak, tingkat kemiskinan yang perlu ditekan, kualitas pendidikan dan kesehatan yang membutuhkan perhatian ekstra.
Tanpa dukungan nasional, bagaimana mungkin semua tantangan ini bisa dijawab hanya dengan mengandalkan kemampuan fiskal daerah yang terbatas?
Kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta ini. Ini bukan sekadar kritik terhadap satu figur pemimpin, melainkan kritik terhadap sistem dan budaya birokrasi yang selama ini mungkin lebih nyaman dalam rutinitas seremonial dibandingkan memperjuangkan nasib daerah di meja-meja pengambilan keputusan nasional.
Kepemimpinan daerah haruslah proaktif, visioner, dan mampu bertarung di tingkat nasional demi membawa pulang program-program yang vital untuk masyarakat.
Sebagian pihak mungkin berupaya mencari pembenaran, menyalahkan prosedur pusat, atau mencari-cari alasan teknis. Namun, publik berhak mendapatkan penjelasan yang jujur, mengapa Dharmasraya bisa absen dalam RPJMN? Apa langkah konkret yang akan diambil untuk memperbaiki keadaan ini?