iklan pemkab muba
Opini

Korupsi di Indonesia Seperti Butir-butir Pasir di Roda

78
×

Korupsi di Indonesia Seperti Butir-butir Pasir di Roda

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi korupsi
Ilustrasi.

Mjnews.id – Menarik sekali artikel yang ditulis oleh Asiye Tutuncu dan Yasar Bayraktar (2024) yang berjudul “The effect of democracy and corruption paradox on economic growth: MINT countries”. Artikel ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di negara-negara Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turkiye (MINT).

Oleh: Sugeng Budiharsono dan Lalu Niqman Zahir

Studi ini meneliti dampak demokrasi dan korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi selama kurun waktu yang panjang, yaitu pada tahun 1975-2022. Hasil penelitian menunjukkan bahwa demokrasi berdampak positif terhadapi pertumbuhan ekonomi untuk seluruh negara MINT. Sedangkan dampak korupsi bervariasi terhadap pertumbuhan ekonomi di negara MINT.

Bagi Nigeria dan Turkiye, korupsi ibaratnya seperti “pelumas pada roda”. Artinya korupsi dapat memfasilitasi pertumbuhan ekonomi dengan melewati hambatan demokrasi. Sedangkan untuk Indonesia dan Meksiko, korupsi itu seperti “pasir pada roda”, yang menunjukkan bahwa korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi.

Hasil penelitian tersebut seharusnya dijadikan pedoman oleh seluruh rakyat Indonesia, khususnya para pengambil kebijakan baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Agar pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 8 persen sesuai dengan yang diharapkan oleh Presiden Prabowo. Sehingga cita-cita menjadi negara maju, sesuai Visi Indonesia Emas 2045 dapat diwujudkan.

Perang dagang yang dilakukan oleh Presiden Donald Trump terhadap 160 negara, termasuk Indonesia, harusnya juga dijadikan momen penting bagi seluruh stakeholder untuk memperbaiki Indonesia, khususnya masalah korupsi. Presiden Prabowo pasti akan didukung oleh seluruh rakyat apabila melakukan aksi nyata pemberantasan korupsi, khususnya terhadap koruptor kelas kakap baik pejabat maupun pengusaha yang telah menggarong uang rakyat dan negara.

Karena jika merujuk pada hasil penelitian Tutuncu dan Bayrsktar (2024) tersebut, maka dengan menurunnya korupsi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Korupsi dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pada kurun waktu sepuluh tahun terakhir, 2014-2024, laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) tahun 2010 relatif stabil, yakni lebih kurang pada angka 5 persen. Kecuali pada saat Pandemi Covid-19, pada tahun 2020 mencapai -2,07 persen, dan tahun 2021 sebesar 3,70 persen.

Berbeda dengan laju pertumbuhan ekonomi pada sepuluh tahun sebelum pemerintahan Jokowi, yaitu di era SBY, laju pertumbuhan PDB pernah di atas 6 persen, yaitu pada tahun 2007-2008, dan 2010-2012 (BPS, 2025). Padahal pada periode tersebut baru pulih dari krisis multi dimensi dan korupsi yang parah di tahun 1998.

Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index-CPI) yang dikeluarkan oleh Transparency International, menunjukkan bahwa selama periode 2014-2024, CPI lebih baik dibandingkan pada era SBY, yang berusaha memulihkan dari kondisi korupsi. Di akhir masa pemerintahan SBY angka CPI mencapai angka 34. Nilai CPI pada era Jokowi berkisar antara 34-40. Nilai skor 40 terjadi pada tahun 2019, dengan laju PDB 5,02 persen. Sedangkan selama 2021-2023, skor CPI malah anjlok menjadi 34.

Hal ini menunjukkan betapa buruknya korupsi yang terjadi di Indonesia. Sampai-sampai Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) pada akhir tahun 2024 menetapkan Presiden Jokowi sebagai finalis pemimpin yang melakukan kejahatan terorganisasi dan terkorup di dunia.

OCCRP tentu tidak akan menetapkan secara sembarangan. OCCRP adalah organisasi non pemerintah yang berfokus pada investigasi kejahatan yang terorganisir dan korupsi. OCCRP didirikan pada tahun 2007 oleh wartawan investigasi Drew Sulivan dan Paul Radu yang merupakan organisasi jurnalisme investigasi terbesar di dunia. Namun demikian Jokowi telah melakukan penyanggahan terhadap tuduhan OCCRP tersebut.

Korupsi merupakan salah satu penyebab ketidakefisienan ekonomi, selain beberapa faktor lainnya seperti keruwetan tatakelola, tingkat kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang rendah, rendahnya tingkat kreativitas dan inovasi, dan ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai. Ketidakefisienan ekonomi ini akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Hal inilah yang menyebabkan nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) pada tahun 2023 mencapai 6,33. Inilah selanjutnya yang menjadi penyebab laju pertumbuhan PDB Indonesia hanya 5 persen. Bandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi China untuk maju seperti sekarang mencapai pertumbuhan yang tinggi.

Kami Hadir di Google News

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT


ADVERTISEMENT